BPJS Kesehatan

Dampak Inpres Jokowi soal BPJS Kesehatan, Pemerintah Wajib Menjamin  Kesehatan Seluruh Rakyat

BPJS Kesehatan baru-baru ini menarik diri dari obat kanker trastuzumab. Alasannya, biaya penanganan pasien dengan penyakit katastropik lanjut bisa mencapai 20 persen dari total biaya. Premi masih dalam pembahasan. Perusahaan juga memperdebatkan bagaimana meningkatkan cakupan perawatan kankernya.

BPJS Kesehatan cabut pertanggungan obat kanker trastuzumab

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mencoret obat kanker trastuzumab dari daftar obat pertanggungan. Obat ini, juga dikenal sebagai Herceptin, adalah obat anti kanker yang menghambat pertumbuhan sel kanker yang disebut reseptor HER2. Sejak April, HCSA belum meliput obat tersebut karena kekhawatiran tentang keefektifannya. Keputusan badan tersebut muncul setelah seorang wanita bernama Juniarti ditolak obatnya setelah menjalani mastektomi dan kemoterapi tanpa obat itu.

Obat kanker trastuzumab berharga hampir Rp 9,8 juta per 440 miligram vial, atau US$678 per rangkaian pengobatan. Trastuzumab membutuhkan delapan sesi perawatan, dan biaya delapan seri adalah Rp 80 juta. BPJS mengklaim memiliki obat alternatif yang harganya lebih murah.

Biaya penanganan BPJS Kesehatan untuk pasien penyakit katastropik stadium lanjut bisa mencapai 20 persen dari biaya pelayanan

Dalam artikel yang dimuat di The Jakarta Post, BPJS Kesehatan menyebutkan biaya penanganan pasien penyakit katastropik stadium lanjut bisa mencapai 20 persen dari biaya pelayanan. Pemerintah sedang mengevaluasi program dan mempertimbangkan untuk menaikkan biaya partisipasi. Namun, kontribusi saat ini tidak cukup untuk menutupi biaya layanan penuh. Selain itu, ada insiden tinggi penyakit bencana di populasi.

Tingginya biaya penyakit katastropik berdampak negatif terhadap keuangan pemerintah. Pemerintah sudah mengalokasikan sebagian besar anggaran untuk BPJS Kesehatan, namun biaya penanganan pasien penyakit katastropik stadium lanjut bisa mencapai 20 persen dari biaya pelayanan. Penyakit ini sangat mahal dan memerlukan perawatan khusus. Pada September 2018, total biaya kesehatan untuk penyakit katastropik adalah 14,5 triliun rupiah atau sekitar $600 juta. Di masa lalu, BPJS tidak memenuhi kewajibannya kepada rumah sakit, dan arus kas yang dihasilkan mempengaruhi operasional rumah sakit.

BPJS Kesehatan juga perlu lebih berupaya untuk menarik pasien yang bukan peserta JKN, karena hal ini akan membantu meningkatkan pendapatan iuran. Dengan begitu, mereka dapat menerapkan prinsip gotong royong dengan lebih baik. Apalagi, dalam waktu dekat BPJS Kesehatan harus mengganti direksinya karena direksi saat ini akan berakhir pada 2021. Panitia seleksi baru harus mencari direksi dan pengawas baru dengan pendekatan yang lebih inovatif, proaktif dan kreatif.

Iuran BPJS Kesehatan masih diperdebatkan

Dalam sebuah studi baru-baru ini, ditemukan bahwa kenaikan iuran BPJS Kesehatan adalah ilegal berdasarkan asas keadilan. Studi ini juga mengeksplorasi konsep jaminan sosial dan regulasi kesehatan. Disimpulkan bahwa pemerintah harus meningkatkan pelayanan BPJS Kesehatan.

Rencana pemerintah menaikkan iuran mendapat penolakan keras dari peserta BPJS. Banyak peserta yang tidak senang dengan kenaikan premi yang cukup besar. Yang lain kesal karena pemerintah berencana untuk menutupi premi untuk penyandang cacat. Selain itu, peserta seringkali hanya membayar iuran bulanan saat sakit dan berhenti membayar saat sembuh.

BPJS Kesehatan bertanggung jawab untuk memverifikasi status kesehatan pasien. Selain itu, Kementerian Kesehatan bertanggung jawab untuk membiayai program tersebut. BPJS Kesehatan harus lebih berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan untuk memastikan pasien Covid-19 tercover dengan baik.

Dalam sistem asuransi kesehatan mana pun, tingkat iuran sangat penting. Mereka harus cukup tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan dan kegiatan operasional yang berkualitas. Namun, besaran iuran JKN berbeda dengan premi perusahaan asuransi komersial. Biasanya, premi untuk perusahaan asuransi kesehatan komersial didasarkan pada kelas risiko penyakit peserta. Semakin tinggi risiko penyakit, semakin tinggi tingkat iuran.